-->

Iklan Billboard 970x250

Tunggu, sedang memuat...
Wanita Ini Membenci Ayah Tirinya Selama 20 Tahun Karena Alasan Ini, Tapi di Hari Pernikahannya, Semua Rahasia Terkuak dan Dia Menyesal!

Iklan 728x90

Wanita Ini Membenci Ayah Tirinya Selama 20 Tahun Karena Alasan Ini, Tapi di Hari Pernikahannya, Semua Rahasia Terkuak dan Dia Menyesal!

Kisah nyata ini diceritakan oleh seorang wanita, Sobat Cerpen yang baik hati, kisah tentang dia dan ayahnya. Inilah kisah yang dia tuliskan...

Dulu aku selalu merasa kalau papa itu seorang sosok yang keren, gagah, ganteng, dan bisa jadi pahlawan di hidupku. Hubungan papa dengan aku dan ciciku nggak terlalu baik, tapi mungkin itu hanya karena banyak hal yang harus papa hadapi dan mungkin karena masalah ini juga papa meninggalkan kami. Buatku, dia tetap papaku. Papa tiriku, di lain pihak, selalu sangat baik sama aku dan cici. Semua yang baik selalu dia berikan buat kami.



Tapi aku nggak bisa mencintainya dan selama 20 tahun terakhir, aku membencinya, sebelum hari ini tiba. Aku membenci papa tiriku karena dia "merebut" mamaku dari papa. Papa tiriku ini adik kandungnya papa, yang juga berarti pamanku. Tapi dia berani-beraninya, di saat papa dan mamaku bercerai, langsung melamar mamaku menjadi istrinya.

Sejak kecil, kehidupan sosialku nggak begitu baik. Aku sedikit banyak tahu kalau banyak teman-temanku akan mulai membicarakan keluargaku setelah aku pulang setelah kita bermain. Aku yang waktu itu ada di usia yang seharusnya aktif dan ceria, memutuskan untuk menutup diri di kamar dan hanya keluar kalau perlu. Di masa-masa ini, papa tiriku dengan sabar mengajakku ngobrol, menanyakan keadaanku, tapi buatku saat itu, papa tiriku itu menyebalkan. Kehadirannya membuat keluargaku hancur dan membuat papa kandungku nggak mau melihat kita, atau itulah yang kupikirkan saat itu.

Aku selalu melihat papa tiriku dengan tatapan benci. Bahkan pernah beberapa kali aku adu mulut dengan papaku dan berkali-kali juga mamaku memelukku dengan lembut sambil menangis, memintaku untuk jangan kurang ajar pada papa tiriku. Aku tahu papa bekerja siang malam, bahkan makan siang dilewatkannya padahal dia harus mengangkat banyak barang berat, semua ini demi merawat keluarga kami. Tapi saat itu aku merasa, "Biarin aja toh aku nggak minta dia rawat aku."

Tapi walaupun aku selalu jahat sama papa tiriku, papa selalu memberikan yang terbaik buat aku dan ciciku. Papa dan mama bahkan terus berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkan aku dan ciciku sampai ke perguruan tinggi, supaya hidup kita nanti nggak susah katanya. Tapi entah kenapa, kebencianku terhadap papa tiriku nggak pernah hilang, sampai saat aku berumur 26 tahun dan aku bertemu dengan pangeran berkuda putihku.

Waktu itu saat aku dan suamiku sekarang merencanakan pernikahan kamu, aku sempat berkata pada mamaku, "Ma, waktu pemberkatan dan resepsi nanti mama jangan ajak om ya. Kalau mama mau ajak om, mama juga ga perlu datang." Terlepas dari apa yang kukatakan, papa tiriku tetap memberikan doa-doa dan uang sejumlah 12 juta rupiah sebagai hadiah. Dia senang aku menikah dan dia akan berusaha terus untuk nggak membuatku sedih, katanya...

Akhirnya tibalah hari resepsi. Semua berjalan lancar dan bahagia sampai suatu saat di tengah-tengah resepsi, tiba-tiba papa kandung yang nggak pernah menanyakan kabarku sama sekali itu menampakkan dirinya. Saat itu, tanpa mengucapkan selamat ataupun menanyakan kabarku, dia memaksaku untuk mengeluarkan 5 juta rupiah untuknya atau dia akan menghancurkan resepsi pernikahanku. Saat aku diam tak bisa berkata-kata, mamaku tiba-tiba menangis dan berteriak, marah-marah dengan sekuat tenaga.

Aku nggak pernah nyangka, papa yang di pikiranku sempurna itu akan melakukan hal ini. Saat itu, semua kebenaran terungkap dari mulut mamaku. "Ngapain kamu datang kesini?! Belum cukup kamu hancurkan hidup kami?! Nanyain kabar anakmu aja nggak, sekarang datang untuk minta uang!

Hutang-hutangmu semua ditinggalin bahkan uang yang dulu aku peroleh susah payah kamu pakai buat main cewek, itu masih nggak cukup?! Kalau dulu adikmu nggak melamar aku, aku udah dijual! Kamu masih nggak malu datang minta uang dari anakmu?!" Saat itu aku tahu dan aku menangis. Kalau nggak ada papa tiriku, mungkin keluarga kami udah nggak ada sekarang...

Akhirnya aku memberanikan diri tanya mamaku, apakah semua itu benar. Waktu aku bertanya kenapa mama nggak memberitahuku dulu, mama berkata, "Maaf ya de... Maafin mama. Mama nggak kasih tau, karena mama nggak mau hidup kamu hancur. Kebencian kamu sama om dan mama sudah terlalu besar. Kalau mama kasih tau, mungkin kamu akan kecewa dan hidupmu jadi tambah rusak. Maafin mama..." Setelah kupikir-pikir, kalau aku tidak melihat perbuatan kejam papaku dengan mata kepala sendiri, mungkin aku nggak akan percaya mamaku dan hidupku akan penuh dengan kekecewaan yang lebih besar.

Setelah tahu segalanya, aku langsung menelepon polisi untuk mengusir papa kandungku dan langsung menahan kelanjutan resepsi, memberanikan diri menjemput papa tiriku bersama dengan suamiku. Sesampainya di hadapan papaku, aku langsung berlutut minta maaf sambil menangis. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya. Melihat ini papaku langsung berlutut memelukku, "Akhirnya, anak papa sudah dewasa. Nggak ada kebahagiaan yang lebih besar selain melihat anak papa yang cantik ini bahagia," katanya.

Papa, maafkan dede yang selama ini udah benci papa begitu lama. Terima kasih buat kebahagiaan yang papa kasih. Terima kasih dulu papa mau terima mama dan dede terlepas dari keadaan papa waktu itu. Terima kasih papa udah susah-susah sekolahin dede dan cici supaya hidup kami baik. Pa, bahkan membuatmu bahagia seumur hidup ini masih nggak cukup membalas budi papa. Aku bersyukur punya papa sepertimu.

Sobat Cerpen, terkadang, nggak semua hal yang menurut kita buruk itu benar-benar buruk. Terkadang ada hal yang disembunyikan untuk kebaikan kita. Kadang, nggak semua orang yang menurut kita jahat itu jahat. Bersyukurlah untuk orangtua atau orang yang kita cintai, yang masih ada bersama kita saat ini. Papa mama, Cerpen sayang kalian.
Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Posting Komentar